— bit by bit —

❤️

--

𝐭𝐫𝐲 𝐚𝐠𝐚𝐢𝐧. — a JJH alternate universe by jyunolonger ⓒ 2021

These goosebumps oh, I am silently screaming
As you go approachin’ me and holdin’ me tight

No matter how many times Jeremy has met Aca’s family, he always feels all giddy and happy. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari Aca menyisipkan bahasan-bahasan kecil yang menarik terkait keluarganya ini, entah itu tentang orang tuanya, Theoden, atau bahkan tentang Choco, ke dalam percakapan mereka berdua. Jeremy, on the other hand, almost never brings up anything about his family. Lagipula, what’s there to talk about?

Seperti yang Jeremy duga, rencana Bapaknya untuk bertemu dan mengadakan makan malam bersama lagi-lagi harus dibatalkan. Ini bukanlah kali pertama Bapak ataupun Mamanya mementingkan urusan pekerjaan dibandingkan anak semata wayang mereka sendiri. Di satu sisi, Jeremy merasa lega bahwa ia tidak perlu menghabiskan hari liburnya dengan hanya mendengarkan Bapak dan Mamanya beradu mulut. Namun begitu, di sisi lain ia juga dibuat kecewa. Layaknya Aca, Jeremy juga ingin menghabiskan malam ini di tengah-tengah keluarganya sendiri.

Not that he isn’t thrilled about being here, of course. By being with Aca, he is at least in the clear of what a happy family should feel like.

“Tambah lagi?” tawar Aca sambil menyodorkan piring berisi kentang tumbuk ke arah Jeremy.

Thank you,” jawab Jeremy, mengambil beberapa sendok kentang ke atas piring makannya.

“Tambah yang banyak, Jere, dagingnya juga,” timpal Linkan, dibalas dengan anggukan disertai senyuman yang tersungging di wajah Jeremy.

Theoden mengambilkan beberapa lembar daging untuk Jeremy. “Ini Jeng, gue ambilin. By the way, thank you for the meat, ya,”

Anytime, The,” ujar Jeremy.

Well, you definitely saved the day, Je. Aca enggak jadi kena marah Abang, deh,” celetuk Aca.

“Yeee.” Theo mencibir, earning a giggle from his sister.

Aca is a real sweet person and he loves seeing her with her family. Jeremy memandangi raut wajah Aca yang semringah di tengah keluarganya, dan hatinya sangat tersentuh. Gadis itu terlihat sangat nyaman di antara orang-orang terdekatnya. Menurut Jeremy, Om Heru dan Tante Linkan adalah orang tua yang sangat baik, yang rela melakukan apa saja dan mengorbankan segalanya untuk anak-anak mereka. Something that Jeremy never relates to in his family. He cannot help but feel a little bit jealous of what this family has that his own family couldn’t offer.

Di balik Om Heru yang selalu terlihat sebagai pribadi berwatak keras, ada keluarga yang sangat harmonis. Kerasnya Om Heru dapat ia lihat pada Theo sebagai sosok kakak laki-laki yang tegas. Hal yang sama juga dapat ia lihat pada Aca, si bungsu yang selalu memiliki tekad hati yang kuat. Sifat keras mereka semua diseimbangkan oleh kelembutan Tante Linkan. Theo dan Aca sangat menyayangi dan selalu menjaga satu sama lain, walaupun hal itu seringkali mereka tutupi karena besarnya rasa gengsi dan malu.

Jeremy kira, setelah bertahun lamanya ia tidak dekat dengan Aca, baik Theoden maupun orang tua Aca akan memandangnya secara berbeda. Namun entah apa yang Aca sampaikan kepada mereka, apapun itu, berhasil membuat Om Heru, Tante Linkan, dan Theoden tetap menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan hingga hari ini, kehangatan keluarga ini masih menyelimutinya.

“Makasih lho, Jere, udah mau repot-repot bantu Tante,” kata Linkan dengan lembut setelah makan malam selesai, sambil menghampiri Jeremy dan Aca yang sedang mencuci piring bersama.

Jeremy tertawa kecil, sungkan dengan pernyataan Tante Linkan. “Jere yang terima kasih, Tante, Om, sudah boleh ikut makan malam di sini.”

“Ah, kamu itu kayak baru kenal aja sama Om sama Tante. Sering-seringlah ke rumah,” sahut Heru yang mengikuti istrinya dari belakang dan kemudian merangkul Aca dan mengecup pucuk kepala anak perempuannya itu.

“Siap, Om,” balas Jeremy sembari mengelap gelas yang telah dibilas bersih oleh Aca.

“Adek … Papi sama Mami pamit dulu, ya? Mau istirahat,” ucap Heru.

Be good, Sayang,” bisik Linkan di telinga anak bungsunya.

Aca yang sedang membilas piring terkikih-kikih mendengar bisikan maminya. “Oke, Pi, Mi. Bye-bye,”

“Ca?” Jeremy memulai, sesaat setelah orang tua Aca sudah hilang dari pandangan mereka.

“Hm?” gumam Aca.

Pria jangkung itu meletakkan gelas pada laci di sebelah wastafel dapur. He then turned to face the girl beside him, staring straight at her.

What’s up?” tanya Aca, masih sambil membilas beberapa alat makan yang telah ia usap dengan sabun.

Sejujurnya, Jeremy ingin meluapkan segala perasaan kecewanya terhadap orang tuanya kepada Aca. Sejak tadi, di balik semua senyuman dan tawa yang ia tawarkan, Jeremy merasakan kesedihan yang mendalam. Ia terus mengingat masa kecilnya bersama Bapak dan Mama, ketika keluarganya masih utuh, when he felt like was the happiest boy on earth.

Seeing the woman in front of him now, Jeremy is scared that he might not be able to hold her for as long as he wants to. This is what he fears about love, that it could be temporary. Because even the strongest bond of families could be torn apart.

Ada sedikit jeda sebelum Jeremy melanjutkan pertanyaannya. “Can I hug you?”

Aca terhenti dari kegiatannya, sepasang sendok garpu masih terjaga di tangannya dan air pun masih mengalir deras dari keran wastafel. Pemuda di sampingnya kemudian mengambil sendok dan garpu dari tangannya dan meletakkan dua benda tersebut, kemudian mematikan air di hadapannya.

May I?” tanya Jeremy. Tangan kirinya mengambil sebuah kain kecil dan tangan lainnya menggenggam lembut salah satu tangan Aca, lalu mengusapnya hingga kering.

Aca mengangguk pelan, kedua pasang bola mata mereka saling bertaut. As he inches closer, her heart starts to beat so fast she’s afraid that he might be able to hear it loud and clear. That he might notice her cheeks burning up right now, because she wants more than just a hug. Aca wants him to wrap his hands around her, embracing her like there’s no tomorrow.

And he does exactly that.

Seluruh pikiran mengganjal dan rasa tidak enak yang sempat ia rasakan karena percakapannya dengan orang tuanya sore hari tadi mulai menghilang, and it’s like Aca’s embrace melts all of his uneasy feelings away. Jeremy mendaratkan dagunya di atas kepala perempuan yang ada di pelukannya, menimbulkan perasaan menggelitik yang memenuhi raganya. Aca membenamkan wajahnya dalam-dalam dan menghirup harum tubuh laki-laki yang sedang mendekapnya, remembering every detail of his scent. His hug feels warm, and she feels secure in it.

“Ehem.” Terdengar dehaman Theoden dari sisi lain ruangan, membuat Aca buru-buru mendorong Jeremy untuk lepas dari dekapan satu sama lain.

Karena tidak siap dengan gerak-gerik Aca yang spontan, kepala Jeremy terbentur overhead counter yang berada di belakangnya. “Ah!” pekiknya.

I’m so sorry!” seru Aca. “Does it hurt?” tanyanya kemudian, reaching out towards Jeremy to make sure that he’s alright.

“Ca, gila kali lo, Kijeng main lo dorong gitu aja?” hardik Theoden kepada adiknya.

“Lo yang gila, Bang! Bikin gue kaget aja, jadinya reflek dorong Jere. Sakit ya, Je? Should we get it checked?” Aca mengelus-elus bagian belakang kepala Jeremy yang terbentur.

Jeremy terkekeh perlahan. “No, no. It doesn’t hurt that bad. I’ll be fine,” katanya.

“Lagian lo berdua juga kurang pinter, sih. Kalo mau mesra-mesraan itu jangan di bawah, nanti kelihatan Papi!” balas Theoden. “Ke genteng aja, ayo, gue anterin,” lanjutnya kemudian, membuat Aca menggeleng terhadap ucapannya.

So, this is our little hang-out hut.” Aca berucap sembari membuka jendela dari kamar kakaknya, lalu mempersilakan Jeremy untuk keluar jendela dan menuju atap rumahnya.

Saat Jeremy sedang berusaha melangkahkan kaki ke genteng, Theoden menyahut perlahan dari belakang Aca. “Watch out for your head!” namun sahutannya terlambat, karena … Duk! lagi-lagi kepala Jeremy terbentur, kali ini mengenai kusen jendela sesaat sebelum ia sepenuhnya keluar dari kamar Theoden.

Okay, that one sounded painful. I should definitely check on that. Aca ambil P3K dulu, ya?” kata Aca dengan cepat, kemudian berjalan menuju pintu kamar kakaknya.

“Hmm,” gumam Aca, sebelum kemudian berbalik dan menatap mata Theoden dari kejauhan. “Be good to Jere, ya Abang?”

Theoden rolled his eyes. “Emang bakalan gue apain, sih?”

Aca mengabaikan pertanyaan kakaknya. “Promise me lo enggak akan tanya yang aneh-aneh ke Jere?”

Is that even necessary?” protes Theoden.

Swear … on your lighter! You be good atau korek lo jadi hak milik gue.”

Theoden menghela napas dengan kesal. “Are you serious? That’s my most expensive lighter!

Dead serious.”

Okay, okay! I swear!

Melihat kakaknya menyerah, Aca tersenyum dan langsung bergegas untuk mencari kotak P3K. Theoden lalu menyusul Jeremy yang sudah terduduk di atas genteng sambil memegangi bagian kepala yang terbentur tadi.

Did it hurt?” tanya Theoden sembari duduk di sebelah Jeremy.

The second one did. A little bit,” jawab Jeremy diiringi tawanya yang renyah. Theoden pun ikut tertawa.

As their laughter dies down, it’s soon replaced with silence. A long and thick silence. Theoden baru saja memergoki Jeremy dan adiknya berpelukan, and though it was neither bad nor weird, it was awkward.

Jeremy mengenal Theoden bahkan sebelum ia mengenal Aca. Theoden adalah salah satu kakak tingkat di kampusnya yang secara kebetulan ikut mengurus acara dalam satu kepanitiaan yang sama dengannya. Saat Aca mulai didekati oleh Jeremy, Theoden senang bukan kepalang. He might not have shown it, and he never even intervened in any of her sister’s past love life, tetapi ia tahu bahwa Jeremy adalah orang yang sangat baik. He knows that Jeremy is going to take care of her.

He felt a bit bummed, of course, saat Aca dan Jeremy menjauh dari satu sama lain beberapa tahun lalu, tetapi Theoden tidak membenci Jeremy ataupun Aca atas keputusan mereka. He knew better not to come between them. Dan sekarang, time has brought them back, to once again be close with one another. Though Theoden doesn’t show it that much, he is beyond happy.

“Jadi … lo serius sama adik gue?” Theoden memulai percakapan.

Jeremy berdeham walau tidak ada yang mengganjal di tenggorokannya. “I’m fond of her, The,” katanya kemudian.

I know,” balas Theoden. “And I could tell that she’s also into you.”

Is she?” tanya Jeremy penasaran, membuat pria di sampingnya tertawa garing.

Man, lo buta kah?” Theoden bertanya dengan tidak percaya.

“Gue cuman … takut bertindak, The. Apalagi, belakangan ini ada orang kantor yang deketin Aca juga. Gue jadi kurang pede, gitu.”

“Gue abangnya, Jeng. I’m not the one you should talk to about that?” tutur Theoden sambil menggeleng. “My say is that if you’re in, you have my full support. But if you’re out, be out as soon as possible and don’t lead my sister on for too long, man.”

The thing is, Jeremy himself is unsure whether he is in or out. Aca membuatnya nyaman, dan ia tentu berharap bahwa ia juga bisa membuat perempuan itu nyaman dan merasa aman, namun perasaan ragu masih sering muncul dalam hatinya. Banyak sekali ketakutan yang sering menyelimuti Jeremy, the stuffs he desperately wants to talk to Aca about. Things he can’t control and wants to be sure of.

Benarkah Aca juga merasakan apa yang ia rasakan?

Does her heart beat faster when he’s around? Can she ever sleep soundly without having him in her thoughts and prayers? Does she ever feel so light whenever she’s with him?

Because that’s how he feels about her. And the thought of him not knowing whether she feels the same way or not, eats him away bit by bit.

--

--

No responses yet

Write a response